Jumat, 02 November 2018

BO(ku)

Kecewa, sedih, dan sakit.
Itu yang saya rasakan saat itu.
Pertanyaan "kenapa harus saya" sempat menghampiri. Saat 'proses' itu, saya pun mendapat jawabannya.
Jumat sepulang sekolah tiba-tiba ada flek di c*lan* d*l*m. Saat itu usia kandungan 10-11 minggu. Ada flek saat hamil, jadi waswas tersendiri. Tapi baca di internet, bahwa flek adalah hal wajar saat kehamilan pertama, saat itu saya bisa bernafas kembali, karena flek hanya sedikit bisa jadi hanya kecapean, pikirku saat itu. Esoknya, Sabtu, tidak ada kejanggalan/tidak ada flek atau merasakan sesuatu. Siangnya, dengan sengaja mengecek ditemukan lagi flek. Melalui referensi yg telah dibaca, sedikit bisa bernafas. Karena flek hanya flek biasa, tidak terlalu mengkhawatirkan. Dan sore, flek itu kembali. Suasana mulai resah, menghubungi suami yang saat itu ada acara seminar di kampusnya. Dia panik dan ketakutan, sehingga dia memutuskan langsung pulang untuk memeriksakan ke bidan. Pukul 19.00 suami baru sampai, kita langsung berangkat. Kecewanya, sang bidan tidak ada dan jadwal hanya sampai pukul 18.00. Setelah ke bidan, usaha mencari dokter sekitar Cisaat pun dilakukan. Tapi tak membuahkan hasil. Saat itu gejala tidak hanya flek, tapi perut sedikit kram (seperti datang haid).
Minggu, berharap keanehan itu tak ada lagi. Dengan rasa degdegan, pagi itu pukul 05.00 saat buang air kecil saya periksa, dan flek agak banyak. Panik, tidak tahu apa yg harus dilakukan. Paginya, bilang ke suami kalau flek masih ada. Suami hanya menyuruh bedrest saat itu. Karena bidan/obgyn tidak ada yg buka, dan suami pun berangkat kerja. Saat itu saya mulai mengurangi aktivitas, hanya tidur di kasur (bedrest). Siang, sakit perut itu semakin menjadi. Dengan panik langsung menghubungi suami yang saat itu sedang di kantor, untuk beranjak pulang. Setelah suami di rumah, langsung pergi ke RS terdekat. Lihat jadwal praktik dokter, agak lega karena ada dokter praktik d hari Minggu. Di meja pendaftaran, semakin lemas, menginformasikan bahwa dokter hari itu kebetulan sedang tidak praktik. Ke IGD pun saya rasa percuma, karena tidak ada obgyn.
Esoknya, Senin, sakit semakin menjadi. Pagi-pagi langsung berangkat mengurus rujukan ke RS, ke poli kandungan. Antre cukup lama, akhirnya bertemu dr Hendri Ginting, Sp.Og. USG pun dilakukan, sambil dokter bertanya tanggal berapa terakhir ibu haid. Saat melihat layar hasil USG, dokter agak kebingungan karena usia janin dan hasil USG tidak sesuai. Jika melihat ke usia kehamilan, seharusnya janin sudah berbentuk, yang terlihat hanya gumpalan hitam kantung janin. Hal itu sama dengan yang saya lihat di hasil USG sebulan sebelum itu. Dokter mengatakan, kemungkinan janin tidak berkembang dan dijadwalkan cek kembali tanggal 5 November untuk memastikan. Bagai disambar petir di siang bolong. Banyak pertanyaan pada diri sendiri, "kenapa seperti ini, dan kenapa harus saya"
Pola makanan, setelah dinyatakan mengandung asupan cukup dijaga dibantu dengan susu dan vitamin ibu hamil setiap hari. Saat itu dokter memberi tiga jenis obat, penguat kandungan, asam folat, dan obat rasa nyeri untuk kontraksi. Selasa, perut semakin nyeri. Berat, keram, berjalan pun harus menahan nyeri. Meringik ke suami ingin kembali ke RS. Saya datang membawa rujukan yang disarankan dokter, di sana tertulis tanggal 5 November, di atasnya tidak tahu tertulis apa 😬.
Datang ke IGD, dan memperlihatkan rujukan itu, dokter IGD pun bertanya, "Pendarahannya banyak tidak bu, perut sakit karena itu karena kontraksi. Di sini tertulis BO jadi mungkin dokter sudah jadwalkan untuk kuret"
Dengan lancarnya dokter IGD mengatakan itu. Saya dan suami terdiam. Di lobi rumah sakit kita diskusi, dan berujung debat. Di sana saya membuka kembali kertas rujukan, di situ ada tulisan BO.
Di awal kehamilan sering membaca artikel tentang kehamilan, dan berdiskusi mengenai kehamilan dengan teman "sesama hamil". Ada tiga gugurnya janin, yakni hamil anggur, ektopik, dan blighted ovum (BO). Seminggu yang lalu, teman saya bercerita bahwa dia didiagnosa ektopik (masih diagnosa awal, mudah-mudahan salah). Prihatin, sangat sedih, karena dia adalah salah satu teman terbaik saya. Dan hari itu, setelah mengingat kembali 3 jenis keguguran itu, saya tidak percaya bahwa saya mengalami salah satu dari tiga jenis itu.  Didiagnosa salah satu dari keguguran janin tadi. Hancur sehancur hancurnya, sakit.
Selasa, karena di awal saya hanya memeriksakan ke bidan, maka saya ke bidan, yang seharusnya pukul 16.00 baru buka, pukul 15.00 saya dan suami sudah di klinik. Sambil selonjoran, menghibur suasana hati yang tak tergambarkan. Berusaha bergembira, dan tertawa, meski menahan sakit. Suami selalu menguatkan, meyakinkan kemungkinkan terburuk itu tidak akan terjadi "sehat ya de, mamanya juga sehat ya" itu yang selalu dia ucapkan sambil mengelus perut, yang semakin maju setelah hamil. Antrean nomor satu, masuk. Setelah menceritaka apa yang saya rasakan, dari raut sang bidan mengatakan bahwa ini tidak beres dan merujuk saya ke Sp.Og. Semakin hancur, karena sang bidan yang selalu menyemangati untuk makan sehat, hari itu malah memotivasi saya untuk tetap semangat. Dari perkataan sang bidan, saya menyimpulkan, ini gagal janin dan harus diangkat.
Sepulang dari bidan, saya menangis di pelukan suami. Suami sedih, namun dia berusaha menyemangati saya.
Besoknya, atas rekomendasi teman, saya menuju RS lain. Berharap ada jawaban yang berbeda, yang bisa memberikan harapan, meski hanya sedikit. Seperti biasa, mendapat antrean awal, karena datang sebelum jam praktik dibuka. Di USG, dokter pun memberikan jawaban sama. Janinnya tidak berkembang, hanya ada kantung janin. Sang dokter memberikan jawaban dengan detil, tanpa bertanya dokter menjelaskannya dengan rinci. Dokter langsung merujuk saya untuk rawat inap, dan menjalani kuret.
Menangis? Tidak, saya sudah dalam keadaan siap untuk mempersiapkan hamil berikutnya. Yang tidak siap adalah, memberitahukan kepada keluarga bahwa saya harus melakukan kuret saat itu. Karena saya tidak sanggup, saya serahkan kepada suami. Setelah itu, saya tidak kembali ke rumah, karena rumah sakit yang saat itu saya datangi ruang inap penuh, saya dirujuk ke rumah sakit di mana dokter itu juga praktik.
Pertanyaan mengapa harus saya, langsung dijawab olehNya. Saya sadar, hanya manusia biasa. Yang memberi kehidupan, kenikmatan, kebahagiaan, adalah Dia. Dia berhak mengambil kapanpun, tanpa memberi aba-aba, siap atau tidaknya saya menerima itu. Perlahan Dia memperlihatkan masalah yang saya hadapi tidak ada apa-apanya. Banyak yang lebih parah, bahkan di usia kandungan delapan bulan bisa saja Allah ambil. Harapan untuk melihat bayi tentu lebih besar, berbeda dengan saya. Maka, tidak ada alasan lain, selain harus kuat.
Pasrah, tawakkal. Insya Allah saya ikhlas.

Diberdayakan oleh Blogger.